Semarang (24/8). Disrupsi akibat revolusi industri 4.0 menyadarkan umat manusia, bahwa perkembangan teknologi informasi tidak selalu positif. Namun juga menciptakan gesekan-gesekan yang merusak tatanan tradisional yang penting bagi nilai-nilai kemanusiaan.
“Bila toleransi tidak dibangun, suatu saat bila timbul gesekan yang bisa mengakibatkan kehancuran peradaban. Efeknya jauh lebih besar ketimbang perang,” ungkap Ketua DPW LDII Jawa Tengah (Jateng) Singgih Tri Sulistiyono, yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro.
Singgih mengatakan hal tersebut dalam “Silaturrahim Kebangsaan 2” yang disaksikan oleh 1.800-an peserta secara daring, pada Sabtu (20/8) lalu. Dalam dialog interaktif tersebut, Singgih mengatakan peradaban dunia dalam kondisi ringkih, akibat Revolusi Industri 4.0 menciptakan disrupsi.
“Disrupsi menciptakan shock culture, goncangan budaya. Mengubah bagaimana manusia berbudaya dan berekonomi. Pola komunikasi yang banyak beredar melalui media sosial, menjadikan media sosial ruang publik yang riuh tapi hampa. Diskusi berubah menjadi hoaks dan ujaran kebencian dengan dalih kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Singgih yang juga Ketua DPP LDII itu mengatakan, disrupsi yang negatif dari Revolusi Industri 4.0, bisa ditangani dengan prinsip-prinsip masyarakat 5.0 (Society 5.0), “Society 5.0 adalah masyarakat supermaju yang menyeimbangkan teknologi tinggi, namun tidak merusak kemanusiaan. Justru dimanfaatkan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Termasuk tatanan kemasyarakatan,” tuturnya.
Dalam hal ini, Society 5.0 mensyaratkan toleransi, saling menghargai, menghormati dan hidup berdampingan ecara damai, “Masyarakat 5.0 ditandai dengan koeksistensi damai, hidup berdampingan dengan damai,” imbuhnya.
Singgih menambahkan bahwa, toleransi menjadi sangat penting dalam Society 5.0, “Manisfestasinya adalah silaturrahim, menyambung tali kekeluargaan dan kasih sayang,” ujarnya. Menurut Singgih, saat ini bangsa Indonesia menghadapi cobaan, dengan adanya fenomena keterbelahan sosial atau keterbelahan bangsa akibat komunikasi politik populis, “Dengan menggiatkan silaturrahim berbagai konflik bisa diselesaikan dengan baik,” pungkasnya.
Menurutnya, nilai-nilai Islam telah mengajarkan pentingnya silaturrahim, yang memiliki efek kesehatan, rezeki, dan panjang umur. Artinya bangsa bisa menjadi bangsa yang makmur bila rakyatnya bersilaturahim, dan pengelola negerinya juga bersilaturahim dengan rakyatnya maupun dengan bangsa-bangsa lain.
Pentingnya silaturrahim menjadi perhatian Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah KH Ahmad Darodji. Ia menekankan MUI sebagai payung seluruh umat Islam memandang pentingnya moderasi beragama, yang dapat membangun sikap toleransi dan rukun guna memperkuat kesatuan dan persatuan umat Islam.
“Silaturahim ini sangat perlu, dan kalau kita ingin silaturahim, yang pertama kuncinya itu, cari persamaan, dan hindari perbedaan. Memang kita ini berbeda, tetapi kalau terus mencari perbedaan itu tidak akan selesai,” ujarnya.
Silaturrahim yang diperkenalkan Islam, tak bertentangan dengan kearifan lokal yang di kalangan masyarakat Jawa disebut sebagai seduluran, “Menjadi sedulur itu hidup bersama. Kamu adalah aku yang lain, mereka adalah kami yang lain, berarti kita adalah saudara. Sehingga, jika telah menjadi saudara, tidak akan tega melihat nasib jelek saudaranya,” ucap Antropolog Universitas Diponegoro (Undip) Mudhajirin Thohir.
Bagi guru besar ilmu Antropologi itu, toleransi memiliki makna berinteraksi dan berkompetisi. Toleransi berbeda dengan kebebasan dan ketidakpedulian. “Toleransi yang ideal semacam memberikan pandangan, tindakan dan sikap terhadap kenyataan bahwa sedang berkompetisi, namun secara elegan. Dengan kata lain, sedang berlomba-lomba dalam kebaikan,” ujarnya. Ketika masyarakat bisa bertoleransi itulah bukti kedewasaan dalam kehidupan yang plural.(*)